1. Latar
Belakang
Orde Baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde
Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun
1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini.
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar.
Pada 27 Maret 1968, MPR secara resmi
melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998.
2. Kondisi Pemerintahan Orde Baru (1968 hingga 1998)
Presiden Soeharto memulai “Orde
Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar
negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966
mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB
dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik
garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi
kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili
pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru. Sanksi non-kriminal
diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif.
Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli
ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya
bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat
dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar
oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi
tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep
pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi
pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik
dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu
sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,
TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena
pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan itu dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
3. Penataan
Kehidupan Politik
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
tahun 1966 merupakan dasar legalitas
dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan
bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan
berusaha untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas
nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melalui Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto
ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme
kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli
1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap
sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet. Tetapi ketika
kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan Presiden tetap
dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai perdanamenteri yang
memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966,
menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal
tahun 1967. Pada 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato
pertanggungjawaban presiden yang disebut PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS
berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No.
13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan
kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS
No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini
mengeluarkan Ketetapan No.
XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut
seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat
Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya
Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah menyebabkan terjadinya
instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret 1968
Soeharto diangkat sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden baru hasil pemilu ditetapkan.
4. Pembentukan
Kabinet Pembangunan
Kabinet pertama pada masa peralihan
kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan
stabilitasekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni :
1)
Memperbaiki
kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan
2) Melaksanakan
pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
3)
Melaksanakan
politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional
4) Melanjutkan
perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya
5)
Setelah
MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan
Soeharto sebagai presiden RI untuk masa jabatan lima tahun, maka
dibentuklah Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang meliputi:
A.
Menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi
B.
Menyusun
dan melaksanakan Pemilihan Umum
C.
Mengikis
habis sisa-sisa Gerakan 30 September
D.
Membersihkan
aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.
5. Pembubaran
PKI dan Organisasi massanya
Dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban
Supersemar telah mengeluarkan kebijakan
- Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
- Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
- Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965
6. Penyederhanaan
Partai Politik pada Masa Orde Baru
Pada tahun 1973
setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai-
partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai
politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas
persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu adalah :
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
- Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
- Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik
ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya
telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama,
karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi serta
pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
7. Pemilihan Umum pada Masa Orde Baru
Selama masa Orde Baru pemerintah
berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977,
1985, 1987, 1992, dan 1997.
Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu
1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh
5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan
suara hanya mendapat 11 kursi. Hal ini disebabkan adanya konflik intern di
tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan
PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas
LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya Pemilu
diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu yaitu Golkar. Kemenangan
Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997
menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi
oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik
Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh
anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan
usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.
8. Peran
Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Untuk menciptakan stabilitas
politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran
Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi
Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran
bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI
dalam pemerintahan adalah sama. Di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi
dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu. Pertimbangan pengangkatan
anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan
dinamisator.Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman
Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan
meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda.
Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari
perpecahan setelah G 30 S PKI, yang melahirkankan Orde Baru. Boleh dikatakan
peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisi yang terhormat dalam
percaturan politik bangsa selama ini.
9. Penataan
Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan
sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan kepada
kepentingannasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat,
kebenaran, serta keadilan.
10. Kembali
Menjadi Anggota PBB
Pada tanggal 28 Desember 1966 Indonesia
kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk
kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat
yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia
lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa
siding tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Thailand,
Australia, dan negara-negara lainnya yang
sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
11. Penataan
Kehidupan Ekonomi
Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah
Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
- Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
- MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada
upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi
agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah
perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini
adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya
demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada
Ketetapan MPRS tersebut adalah:
- Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
- Rendahnya penerimaan negara.
- Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
- Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
- Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
- Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
- Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
- Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah
penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :
- Mengadakan operasi pajak
- Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
- Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
- Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilisasi
ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir
tahun 1967-1968,
tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet
Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya
pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang,
pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu
ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan
valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.
Program rehabilitasi dilakukan
dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir
masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada
prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan
perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan
kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.
12. Pembangunan Nasional
A. Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi
politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah
Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang
diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu :
- Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
- Meningkatkan kesejahteraan umum
- Mencerdaskan kehidupan bangsa
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional
yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan
Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan
bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi
Trilogi Pembangunan adalah :
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
- Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
- Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan
delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah :
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
- Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
- Pemerataan pembagian pendapatan.
- Pemerataan kesempatan kerja
- Pemerataan kesempatan berusaha
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
- Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
B. Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan bahwa
Pembangunan Nasional direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui
program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah
telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
1.
Pelita
I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April
1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde
Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang
pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui
proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih
hidup dari hasil pertanian.
2.
Pelita
II
Pelita II mulai berjalan sejak
tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah
tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup
berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir
Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II
inflasi turun menjadi 9,5%.
3.
Pelita
III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal
1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita III masih
berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
4.
Pelita
IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1
April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor
pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada
Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan
kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
5.
Pelita
V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi
Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8%
per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran
yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6.
Pelita
VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada
Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan
pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada
periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri
yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat,
dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
13. Konflik
Perpecahan Pasca Orde Baru
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio
dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Salah satu
cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari
daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,
terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
14. Krisis
Finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis
finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh,
inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran,
yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di
tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21
Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto
kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden
ketiga Indonesia.
Kelebihan dan Kekurangan
Sistem Pemerintahan Orde Baru
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru :
- Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru :
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
- Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
- Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
- Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
- Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Kesimpulan
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama
yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat
“koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.
Pada 27 Maret
1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun
1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai “Orde
Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar
negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi.
Orde Baru berlangsung dari tahun
1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini.
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar.
Saran
Dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing
dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya , harga diri bangsa
Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan
buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan
pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo,
Miriam (2008). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.